Hibrida Jadi Jembatan Menuju Era Kendaraan Listrik
- Kementerian Perindustrian menginisiasi lahirnya Low Carbon Emission Vehicle ( LCEV), yang diharapkan segera rampung 2019. Dalam program tersebut akan lahir beragam kategori kendaraan mulai hibrida, Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV), battery electric vehicle (BEV), sampai Fuel Cell (hidrogen).
Masing-masing model tersebut memiliki keunggulan, dan tentunya punya juga kekurangan. Lantas, apabila diterapkan di Indonesia, mana yang lebih cocok dan efektif dengan kondisi saat ini atau dalam jangka waktu singkat?
Menurut Yohannes Nangoi, Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), tentu tergantung dari kesiapan masing-masing pemegang merek dan tentunya kondisi infrastruktur pendukung.
"Kalau dari kami menyerahkan sepenuhnya kepada masing-masing anggota, tentunya dengan insentif yang diberikan oleh pemerintah nanti seperti apa," ujar Nangoi ketika dihubungi Kompas.com, belum lama ini.
Nangoi melanjutkan, mobil listrik, hibrida, atau hibrida plug-in sama-sama memiliki keunggulan dan kekurangan. Namun paling penting, mendorong teknologi yang bisa dirasakan tanpa harus menunggu investasi infrastruktur dan waktu yang panjang.
Salah satu target utama pemerintah adalah mengurangi defisit neraca perdagangan, yang didorong oleh meledaknya impor minyak, sehingga cukup krusial untuk segera ditanggulangi.
"Penurunan impor bahan bakar minyak (BBM) juga harus segera dilakukan. Kalau secara teknologi dan persiapan mendukung, sudah pasti masyarakat pun akan beralih menggunakan mobil ramah lingkungan seperti itu," kata Nangoi.
Tetapi, jika melihat dari kondisi infrastruktur di Indonesia sekarang ini, kata dia paling memungkinkan hibrida. Paling sederhana, mobil hibrida ini mengunakan baterai lebih kecil, sehingga punya beban biaya lebih murah, ketimbang lainnya.
Selain itu, besarnya populasi mobil ramah lingkungan (hybrid, PHEV, atau BEV) sangat mempengaruhi efektivitas penurunan impor BBM, sehingga harga jual harus menarik minat konsumen untuk membeli.
"Tetapi permasalahannya, kita masih harus menunggu bagaimana regulasi jelasnya, dan tentunya insentif yang diberikan, karena bisa berpengaruh juga kepada harga jual," ucap Nangoi.
Sejalan dengan hasil riset yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi Negeri (PTN), seperti Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Gajah Mada (UGM). Kedua PTN itu melakukan riset komprehensif implementasi teknologi hibrida sekaligus PHEV, dengan karakteristik dan geografis asli di Indonesia, November 2018 lalu.