F1: Mengapa Kita Kalah dari Vietnam?
Ketika beredar informasi bahwa pergelaran F1 akan diselenggarakan di sirkuit jalan raya Hanoi, Vietnam, mulai musim balap 2020, beberapa orang bereaksi sama atau serupa, mengapa tidak di Indonesia? Mengapa kita kalah bersaing menjadi tuan rumah dibanding Vietnam?
Apabila kalah cepat dengan Malaysia atau Singapora, yang memang sudah berhasil jadi host, atau mungkin dengan Thailand kok rasanya masih lebih bisa diterima dibanding kalau kalah dengan Vietnam.
Menurut saya, wajar saja pemikiran tersebut muncul, saya pun termasuk yang agak iri dengan situasi ini.
Situasi yang berbeda melatarbelakangi terjadinya pergelaran ini, misal Malaysia yang menjadi tuan rumah pertama kali di musim balap 1999.
Gelaran tersebut sangat didukung pemerintahnya di bawah Perdana Menteri Mahatir dengan menyediakan sirkuit modern yang berdekatan dengan pusat pemerintahan Putra Jaya dan Kuala Lumpur International Airport.
Langkah-langkah penunjang seperti membuat kesepakatan dengan pemilik tim Sauber, Peter Sauber, melibatkan state oil company Petronas, yang tentunya bertujuan untuk menempatkan negara Malaysia menjadi lebih dilihat dunia.
Contoh sederhana, 20 tahun lalu tidak banyak orang tahu tentang Petronas. Tetapi sekarang semua orang tahu Petronas, apalagi mereka mensponsori dengan biaya yang tidak murah tim juara dunia F1 dalam lima tahun terakhir.
Grand Prix F1 Singapore yang dimulai musim 2008 mempunyai cerita berbeda. Kali ini peran pengusaha properti lokal kelahiran Sabah Malaysia, Ong Beng Seng, lebih dominan.
Pemerintah Singapura sangat mendukung langkah yang dilakukan Ong Beng Seng dengan menyediakan jalan raya di Marina Bay sebagai lokasi balapan serta mengukir sejarah sebagai lokasi balap malam F1 pertama kalinya.
Sebuah langkah brilian mengingat Singapura tidak memiliki lahan yang luas dan saat itu pemerintah ingin peran sektor pariwisata lebih ditingkatkan untuk menjadikan Singapura tetap menarik di kawasan Asia Tenggara.
Dahulu, lokasi terdekat orang Indonesia bila ingin berbelanja barang branded adalah Singapura. Namun, dengan menjamurnya perbelanjaan kelas atas di Indonesia, hampir semua top branded ada di Indonesia (Jakarta) sehingga banyak warga Indonesia sebagai kontributor pelancong terbesar enggan ke Singapura lagi.
Bersamaan dengan itu, mereka membuka Singapore Flyer, Universal Studio Singapore, dan juga hotel mewah dengan kapasitas 2.000-an kamar serta dilengkapi dengan Casino. Tentu saja langkah tersebut merangsang kunjungan wisata dan tentunya berefek kepada impulse buying yang membuat Singapura sebagai lokasi belanja tetap terjaga.
Malaysia dan Singapura telah mendapatkan apa yang mereka inginkan di mata dunia dan kedua seri grand prix tersebut lahir di bawah Formula One Management (FOM) milik Bernie Ecclestone. Lantas bagaimana dengan Vietnam sebagai penyelenggara baru pertama ditunjuk sejak F1 diambil alih Liberty Media?
Ada sedikit kemiripan dengan cara F1 Singapore, bedanya ada penyesuaian secara stategis yang lebih memudahkan dan mempercepat proses.
Kali ini VinGroup, sebuah perusahaan yang dimiliki konglomerat Vietnam, Pham Nhat Vuong, menjadi pihak yang paling berperan dalam negosiasi dan terpilihnya Vietnam untuk menyelenggarakan F1.
Dimulai musim balap 2020 sampai delapan musim ke depan dengan opsi perpanjangan, dengan mengucurkan modal awal 1 triliun dong atau sekitar Rp 608 miliar.